Puisi Gatoloco Karya Goenawan Mohamad

Puisi Gatoloco Karya Goenawan Mohamad - (lahir di Batang, 29 Juli 1941; umur 79 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo. Ia merupakan adik Kartono Mohamad, seorang dokter yang menjabat sebagai ketua IDI.

Puisi Gatoloco Karya Goenawan Mohamad

 

Gatoloco

 

Aku bangun dengan 7.000.000 sistem matahari

bersatu pada suatu pagi

 

Beri aku es! teriakku,

Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu.

 

Keringatku tetes, Gusti, apakah yang telah terjadi?

"Tak ada yang terjadi. Aku datang kemari."

 

Memang kamar seperti dulu kembali.

Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi.

 

Kulihat bekas hangus, tahi tikus.

Kulihat mata kelelawar.

 

Kulihat puntung separuh terbakar.

Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku

pada kaca almari itu.

 

Tapi di luar tak ada angin, hanya awan lain.

Tak ada getar, hanya gerak. Tak ada warna,

hanya cahaya. Tak ada kontras, hanya ....

 

"Jangan cemas," gurau-Mu. "Aku tak 'kan menembakkan pistol

ke pelipismu yang tolol."

 

Tapi Kau datang kemari untuk menggugatku.

"Jadi kau tahu Aku datang menggugatmu."

 

Mimpikah aku? Mengapa tak tenang tempurung kepala

oleh celoteh itu?

 

"Celoteh dan cerewetmu!" Tiba-tiba Kau menudingku.

 

Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap

lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.

 

Ah, kefasihanku. Tiba-tiba aku membenci itu.

Aku memang telah menyebut nama-Mu.

 

"Kau tak menyebut nama-Ku, kau menyebut namamu."

Makin suram kini suara-Mu.

 

Hei, berangkatlah dari sini! Aku tahu ini hanya mimpi!

"Tidak. Ini bukan mimpi."

 

Kalau begitu inilah upacara-Mu.

"Benar, inilah upacara-Ku."

 

Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.

Tapi apakah apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku

pada debu, kembali?

 

"Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pada kitab

dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.

Padamu sendiri."

Kini aku tahu. Aku milik-Mu.

"Dan Aku bukan milikmu."

 

Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.

"Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?

Kau hanya pandai untuk tak mengerti."

 

Oke. Kini aku mencoba mengerti. Ternyata Kau tetap

ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung

argumentasi. Tapi mengapa kau tetap di sini?

 

"Sebab kulihat matamu basah dan sarat."

Ah, begitukah yang Kau lihat?

 

Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan

garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas

dalam butir-butir yang miskin. Ada garis-garis buram,

seolah kelam terkena oleh bulan.

 

Dan kurasa angin terjirat. Kudengar hujan yang gagal.

Langit berat. Dan panas lembab dalam ruang yang sengal.

 

"Agaknya telah sampai kini batasmu."

Aku tahu.

 

"Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi."

Artinya dari kamar ini mungkin aku tak berangkat lagi.

 

"Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku."

Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.

 

"Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seorang pendebat."

Tak bisa lagi berkeliling.

 

"Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,

memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya

pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi

pongah, dengan karcis dua jurusan."

 

Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?

Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau cemoohkan tangis

pada mataku.

 

1973